Hidup Setelah Badai
Aku masih hidup.
Ingin sekali rasanya mengabarimu soal kehidupanku kini secara langsung. Sudah banyak kata yang kuketik namun urung kukirimkan padamu. Aku melatih diriku berkomitmen untuk menjaga agar tetap patuh di balik garis batas yang sudah Allah lukiskan. Meski berat, aku masih akan terus berjuang untuk taat. Maka menuliskannya di sini, menurutku adalah yang terbaik. Aku jadi bisa mengarsipkan ceritaku, pun siapa saja bisa memetik hikmahnya, kupersilakan.
Hidupku setelah badai itu berlalu, membawaku pada perjalanan yang baru.
Rutinitas yang selama ini kuturuti berdasarkan tuntutan orang lain, sekarang harus kubangun sendiri dengan penuh kesadaran. Agak menantang memang dengan karakterku yang seringkali mengandalkan ego sendiri. Ada kalanya aku menuruti rasa malas, ada kalanya aku stress berkepanjangan, pun ada kalanya aku tidak punya gairah hidup sama sekali. Tapi Maha Baik Allah yang menyadarkanku terus menerus untuk bangkit, aku selalu berjuang untuk meluruskan kembali niat dan langkahku.
Paling sulit bagiku adalah memaafkan diri sendiri. Meski akhirnya aku pun tahu, bahwa perasaan bersalah ini harus dirawat agar aku tak pernah berhenti mengejar ampunan dan rahmat-Nya. Namun di sisi lain, saat aku tidak tahu harus berpegang ke mana, aku bisa saja terjatuh pada jurang keputusasaan.
Lagi-lagi, rahmat Allah lah penyelamatku.
Dia mengirimkan satu persatu pesan cinta yang terkadang sulit kupahami maknanya. Ada yang langsung kusyukuri, ada pula yang kujalani dengan keluh dan tangis dahulu. Hidup memang penuh ketidakpastian, maka itulah kenapa kutaruh harapan bukan pada hidup itu sendiri, melainkan Sang Pemilik Kehidupan. Dia yang masih membolehkan nafasku berhembus, jantungku berdetak, darahku mengalir, mataku membuka setiap paginya, pun seluruh organ tubuhku bekerja sesuai fitrahnya. Meski kematian sendiri menjadi hal yang menggiurkan untukku, tapi sejujurnya aku memang belum siap menghadapinya. Maka aku bersyukur saat tubuhku masih bisa bergerak, memenuhi hak dan kewajibanku setiap detiknya.
Badaiku mungkin tidak benar-benar pergi, ia mereda sementara untuk kelak berlalu lalang kembali saat aku berlayar lagi. Tapi setidaknya, di pelabuhanku kali ini, aku memperkuat kapalku agar lebih kokoh, kukemasi amunisi terbaik untuk perbekalan pelayaranku nanti. Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah berhenti berjuang, aku hanya sedang beristirahat sejenak untuk mempersiapkan diri dalam mengarungi samudera dengan segala badainya. Atas izin Allah, aku yakin Dia akan menjagaku dan menguatkanku. Dia menjadikanku lebih tangguh dengan pengalaman yang telah lalu itu.
Aku masih hidup—dengan kondisi yang sangat baik.
Satu bulan terakhir ini, aku bahkan tak sempat main game karena lebih sibuk bikin orderan lebaran, meski sampai begadang hingga tumbang. Tapi jangan risau, berada di rumah berarti difasilitasi perawatan terbaik sedunia—ibu dan sentuhan hangatnya. Aku juga banyak dipertemukan dengan teman dan kerabat lama di sini, memutar otak kembali dalam mengingat nama dan kenangan masing-masing. Awalnya mungkin ragu, takut dan malu, lama-lama terbiasa juga dan mudah untuk menerimanya. Aku jadi lebih menghargai tiap pertemuan itu sendiri. Rezeki yang kukira akan sedikit macet karena aku sudah tidak berpenghasilan tetap rupanya meleset dari prediksiku, Allah lah sebaik-baik Pengatur Rezeki, yang mana yang terbaik untukku akan dihadirkan meski dari arah yang tak disangka-sangka.
Lagi dan lagi, selalu, segala puji bagi Allah.
Ya, pada beberapa jeda hari yang ada, teriakan hatiku masih ada. Tangisku masih pecah. Pun mataku masih membengkak. Tubuhku berguncang dengan tatapan kosong. Tapi seolah Allah perintahkan seisi alam semesta bekerja untuk menghalangiku dari berdiam diri, semuanya menuntut dan menuntunku bergerak hingga aku tak punya sedetik pun waktu untuk memikirkan hal yang tak perlu. Pikiranku sedikit teralihkan, tak sempat untuk sekadar bergalau ria.
Sahabatku berkata, "Kamu termasuk cepat sekali untuk bangkit." Aku merenung, mungkinkah karena aku pulang dengan rencana? Rencana-rencana itu, meski tak semua berhasil kueksekusi dengan baik, menjadi pemantik api semangatku menyala. Aku hanya perlu menjaga hangatnya agar tetap stabil, agar tidak tiba-tiba membara dan membakar yang lain, atau tiba-tiba mati dan sulit menyala lagi.
Begitulah aku sekarang, masih hidup dan sedang berusaha menghidupkan mimpi-mimpiku sendiri. Aku tertatih-tatih, tapi semua itu membuatku semakin terlatih. Aku harap Allah tak pernah meninggalkanku sendiri, begitu pun terhadapmu.
—Ra Sa
Komentar
Posting Komentar
Mari tinggalkan jejakmu bila berkenan :)