Bagaimana jika…

Sepertinya memang sudah masuk masanya ya, aku mulai memikirkan dengan matang sosok laki-laki seperti apa sih yang sebenarnya aku butuhkan untuk membersamaiku dalam kehidupan rumah tangga di masa depan?

Selama ini, aku hanya meminta kepada Allah secara general—berupa seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepadaku, dan mencintai aku karena Allah dan Rasul-Nya. Banyak belajar soal pernikahan, aku mulai paham bahwa penting juga membuat kriteria turunan dari sekadar laki-laki yang ‘shalih’ saja. Mau shalih yang bagaimana sih? Apa sekadar ibadah ritualnya kah? Atau sampai di level punya project ummat yang sedang dijalankan, misalnya?

Aku juga termasuk yang percaya kalau kata-kata itu sangat powerful, saking powerful-nya, bisa Allah kabulkan sebagai doa. Maka mendetailkan jodoh seperti apa yang diinginkan pun menjadi penting untuk masuk ke dalam list doa. Sedikit banyak aku mendengar testimoni orang-orang yang sudah menikah, mereka benar-benar mendapatkan jodoh yang sesuai doa di kala single–ada yang persis, ada yang menyesal juga karena kurang detail mintanya haha.

Menurutku, karakter jodoh ini jadi sesuatu yang harus diperhatikan sekali karena nantinya kita akan bekerjasama dengannya sampai maut memisahkan—bahkan sampai bertemu kembali di surga-Nya (semoga). Dari bangun tidur sampai tidur kembali, kita akan berinteraksi dan bersosialisasi ya sama dia lagi dia lagi. Kalau dari awal udah gak sesuai kriteria dan dipaksakan, gimana nanti ke depannya?

Aku pribadi gak mau ngebeberin di sini kriteria yang aku mau gimana secara detail sih ya, paling satu hal ini aja. Barusan banget aku baca istilah “level of understanding” di Ig story sarahnurk, di sana Kak Sarah cerita dia mencari laki-laki yang minimal bisa berbahasa Inggris fluent. Karena kalau level of understanding-nya aja gak setara, gimana mau bersama coba? Dalam berkomunikasi pasti jadi gak nyambung banget kan? Aku jadi mikir, ini sih maksud aku. Gak mesti soal bahasa ya, bahkan bahasa yang dikuasai sama pun, menurutku kita bisa punya level pemahaman yang berbeda. 

Pernah juga di lain waktu aku nemu bacaan yang jelasin soal sekufu dalam hal finansial, sebenarnya ga mesti punya penghasilan yang sama. Tapi punya pemahaman soal batas “cukup” yang sama. Ibaratnya, si cewek merasa cukup dengan gaji UMR tapi bagi si cowok cukup itu kalau udah punya rumah sendiri dan minimal tiap bulan bisa nabung dua digit. Jadi agak susah kan ya?

Cuma gak ada yang gak mungkin kalau emang niat menikahnya karena Allah dan sudah ditakdirkan berjodoh. Sekufu atau selevel dalam hal apapun, termasuk memiliki pemahaman yang setara—pasti bisa diusahakan bersama. Meskipun sekarang aku masih blank banget ya gimana cara mendeteksi nyambung gak nyambungnya interaksi sama seseorang tuh gimana, atau lihat dia orangnya mau berusaha atau gak tuh gimana… seenggaknya aku tau itu jadi salah satu hal yang perlu aku pastiin dulu di awal. Kalau udah aman, udah bisa nerima dan memaklumi, insyaAllah boleh lanjut ke step-step lainnya. 

Jadi yaa… aku membayangkan aja sih, kira-kira aku bakal tahan gak ya sama dia kalau hal-hal gini cara komunikasinya gini? Gimana kalau kita ga bisa saling memahami? Gimana kalau kita menyerah satu sama lain? Dll.

Mungkin kalau lebih banyak belajar lagi, aku punya pemikiran yang lebih upgrade insyaAllah, gak sekadar cuap-cuap kayak gini wkwk. Wallahu a’lam bis shawwab.

Komentar

Postingan Populer