"Traumanya apa ya, Kak?"

15 detik.

Hanya dari lima belas detik video di status WhatsApp atau Instagram Story, seringkali kita merasa paling tahu tentang hidup seseorang. Kita seolah punya segudang kesimpulan yang diamini di dalam kepala. Hanya dari makanan apa yang dia masak untuk berbuka puasa nanti, dari jalan-jalan kantornya ke Bali, dari pencapaiannya sebagai mahasiswa berprestasi, atau sekadar screenshot isi chatnya bareng bestie. Menarilah semua asumsi di kepala bahwa si A anak orang kaya, si B ceria sekali, si C pasti hedon sampai si Z yang salah gaul. 

Laut itu luas, Sayang. Melihat pantai tak lantas membuatmu pandai menyelam di kedalaman samudera.

Kalau kata tren komentar netizen di TikTok biasanya, "Lucu banget sih, kalau boleh tahu traumanya apa ya, Kak?"

Karena di balik layar, ada 99% yang tidak kita ketahui persisnya.

Begitu pula tentang hidupku. Setelah badai yang mengguncang satu tahun terakhirku di Bandung, aku memutuskan menjalani hari sebagai aku yang baru di tanah Bertuah ini, lagi. Mendadak semua priviledge yang kumiliki selama ini berakhir. Orang-orang yang menyayangiku kini hanya via layar gawai bisa kugapai. Di tempat ini, aku belum punya siapapun yang bisa kusandarkan dan kuandalkan selain Tuhan dan diri sendiri. Aku mengalami detik-detik terberat di mana rasa kehilangan itu membunuhku perlahan, sampai teriakku tak lagi bersuara. 

Masa-masa sendiri sambil membereskan luka yang berserakan, bukanlah hal yang mudah untukku. Melewati setiap derai air mata dan dan matinya logika. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa memakai sebuah topeng bernama tangguh di depan banyak mata. Kuperlihatkan the new me yang aktif membagikan hasil eksplorasinya di dunia maya. Dukungan dari berbagai sisi mungkin hadir, tapi kekosongan di dalam hatiku ini tetap tidak bisa terpenuhi. Semakin dipuji, semakin banyak yang peduli, rasanya semakin sakit saat yang kamu harapkan tak bisa dimiliki.

Aku tahu persis bahwa aku seharusnya bersyukur atas semua yang terjadi. Aku bersyukur atas apa yang sudah semestinya menjadi hakku. Aku harus bersabar jika belum dipantaskan mendapatkan yang tidak selayaknya untukku. Aku harus mengerti bahwa banyak hal di dunia ini memang dihadirkan sebatas untuk memberikan pelajaran, tak lebih. Aku tahu aku harus menanamkan semua itu dalam diriku...

Tapi, perasaan hancur ini pun bukankah punya hikmah tersendiri? Menandakan bahwa aku adalah manusia. Manusia biasa yang wajar bisa merasa hampa, hancur, kurang, lemah, rapuh, dan segala kendalanya. Aku tak sesempurna itu, dan tak perlu memaksa diriku menjadi sempurna.

Jika kemarin adalah trauma, maka hari ini adalah jalan terapiku.

Aku belajar untuk lebih peduli dengan diriku sendiri, dan menggantungkan segalanya pada Yang Maha Memiliki. Bukankah Tuhan tak pernah membuat hamba-Nya kecewa?

- Ra Sa

Komentar

Postingan Populer