Hari Kematianku
Berulang kali aku berpikir bahwa kematianku sangatlah dekat.
Aku bahkan sudah menuliskan surat wasiat untuk semua orang terdekatku; ibu, adik, nenek, dan dua orang sahabatku. Masing-masing surat kumasukkan ke dalam amplop putih bertuliskan nama mereka satu persatu di sudutnya. Terkadang aku membuka dan membacanya lagi ketika tengah menyendiri seperti detik ini, mengimajinasikan ekspresi yang akan tercipta di wajah mereka saat kematianku itu benar-benar terjadi lalu mereka berkesempatan untuk membacanya. Apakah mereka akan bersedih dalam waktu lama? Apakah mereka akan menyesali pertemuan singkat kami? Apakah mereka akan mudah mengikhlaskanku?
Sebenarnya, kematian bukanlah suatu hal yang aku inginkan. Meskipun banyak di luar sana, anak muda seusiaku, membunuh dirinya sendiri sebab pikiran-pikiran jahat yang merasukinya. Yang mungkin saja, diciptakan kepala mereka sendiri. Sehingga mereka berebut ingin mati begitu saja. Hanya karena dunia yang tidak berlaku adil padanya.
Aku berbeda. Aku hanya berpikir aku akan segera mati. Sekali lagi, bukan mengharapkannya. Bukankah kematian memang bisa tiba-tiba menyapa? Dia bahkan lebih pasti datang daripada jodohku sendiri, yang justru memang sedang aku nanti-nanti.
“Nak, sudah siap?” tanya ibu dari luar pintu kamarku.
Buru-buru kukemasi surat-surat itu, dan memasukkannya kembali ke tempat semula–kotak kayu yang aku sembunyikan di lemari baju. Aku baru ingat kalau hari ini, aku menawarkan diri pada ibuku untuk pergi berbelanja kebutuhan lebaran. Ramadhan hampir usai. Alih-alih memaksimalkan sisa hari di bulan suci dengan ibadah, masjid-masjid malah mengalami kemajuan shaf, karena mayoritas orang meninggalkannya dan lebih asyik memenuhi jalanan serta pusat perbelanjaan. Apalagi sudah jadi budaya yang mengakar kuat di negeri ini, hari raya Idulfitri jadi momen berkumpulnya sanak saudara, lengkap dengan semua hal yang bersifat baru–entah baju baru, penampilan baru, sampai status baru.
Tak terkecuali keluargaku. Cukup sulit mengedukasi ibu bahwa baju lebaran baru itu sebenarnya tidak perlu. “Gapapa sih kalau emang ada rezekinya, Bu. Tapi jangan maksain juga, ya. Baju lama kan masih banyak yang layak pakai,” ucapku setiap beliau menanyakan warna apa yang kuinginkan untuk baju baruku. Tapi bagi ibu, membelikan anak-anaknya baju baru setiap lebaran yang cuma satu tahun sekali itu adalah kebahagiaan, aku mengizinkan selama tidak berlebihan.
“Bentar, Bu. Lima menit lagi, ya!” jawabku cukup keras, agar suaraku terdengar ibu.
Sambil menyiapkan tas kecil dan mengenakan jilbab biru muda kesukaanku, aku kembali berpikir tentang kematian itu. Lima menit lagi ya, kata-kata yang terdengar sederhana dan biasa itu ternyata berisi ke-sok tahu-an aku. Siapa yang menjamin dalam lima menit, atau bahkan lima detik kemudian, aku sudah siap berangkat bersama ibu? Bagaimana jika pada menit ke empat, jantungku berhenti berdetak?
“Bu, mau bikin masakan apa lebaran tahun ini? Opor ayam lagi?” tanyaku antusias saat ibu mulai memasukkan satu persatu bahan makanan ke tas belanjanya, sesekali menawar harga ke para penjual di pasar yang kami datangi pagi ini.
“Kenapa? Ada makanan lain yang kamu mau, Nak?”
“Aku mau sate, Bu!” jawabku semangat. Ibu pun mengiyakan permintaan anak sulungnya ini, sedangkan aku hanya mengikutinya dan sibuk memperhatikan sekitar. Pasar yang ramai, harga dagangan yang melambung tinggi, suara para pedagang yang berisik agar para pembeli tertarik mendekat, serta bau amis di mana-mana. Aku melihat kucing-kucing gembul di sekitar penjual ikan, kadang bulunya basah oleh cipratan air dari ember-ember besar, atau kotor karena genangan di sepanjang jalanan pasar yang bercampur tanah. Tanpa sadar, dua tanganku lama-lama penuh juga oleh kantong plastik hasil belanjaan ibu.
Memperhatikan ragam aktivitas yang terjadi di luar kendaliku ini, membuatku bertanya-tanya bagaimanakah akhir hidupku kelak? Apakah se-tidak bisa ditebak lonjakan harga cabai yang ibuku beli? Apakah semenyeramkan pisau-pisau penuh darah di bagian daging-dagingan dijual? Apakah seribut tikus-tikus perusak dus-dus mie instan?
Kalau aku mati… kira-kira kematianku menyedihkan atau malah tragis ya? Apa darahku akan bercucuran secara dramatis seperti di film-film? Atau syaraf-syaraf tubuhku langsung terputus seketika tanpa sempat aku berucap sepatah kata pun sebelum pergi dari dunia ini?
“Nak, hati-hati! Jangan bengong gitu, nanti kepleset, lho,” ibu membuyarkan khayalanku. Satu jam kemudian, kami akhirnya pulang ke rumah. Ibu menurut, tahun ini kami sekeluarga sepakat tidak akan beli baju baru untuk lebaran.
Ada alasan khusus soal itu selain laranganku, tahun ini adalah tahun pertama kami merayakan lebaran tanpa hadirnya sosok ayah. Lebaran yang akan terasa lebih sepi dari biasanya. Agar hangatnya kehadiran ayah masih bisa kami kenang, ibu ingin baju lebaran tahun lalu dikenakan lagi. Selain masih bagus dan rapi, baju-baju itu memang sengaja dijahit atas permintaan ayah. Bahkan foto keluarga dengan pakaian serba putih itu masih terpajang gagah di dinding ruang tamu.
Kematian ayahku sendiri menggoreskan luka yang menyakitkan bagi keluarga kami. Ayah meninggal dalam senyap lima bulan yang lalu, tanpa riwayat sakit berat apapun yang pernah terdeteksi, ditemukan tak bernyawa di atas tempat tidurnya. Padahal selama ini fisiknya segar bugar karena ia pekerja keras. Aku belum bisa membayangkan sunyinya lebaran tanpa nasehat bijak atau jokes bapak-bapak ala ayahku yang biasanya mengundang tawa kami sekeluarga. Bisa jadi, seisi rumah akan berubah sendu. Sepertinya, alih-alih merayakan hari kemenangan, rumahku lebih tepat untuk merayakan kehilangan.
“Ayah, apa yang paling ayah takutkan di dunia ini?” tanyaku suatu pagi jauh sebelum ayah tiada, saat itu ia sedang membaca koran di hari libur. Secangkir teh hangat diteguknya perlahan sebelum menjawab pertanyaanku.
“Rasa memiliki.”
“Hah? Kenapa?” Menurutku, itu jawaban yang membingungkan.
Ayah mengeluarkan uang berwarna merah muda dari sakunya, lalu menyodorkannya padaku. Aku mengernyitkan dahi. “Ambil, Nak,” ujarnya sambil tersenyum.
“Ini beneran, Yah?” Tentu saja uang bernominal besar itu aku ambil dengan senang hati. “Makasih, Ayah!” kukecup pipi ayah dan selembar uang itu. Dengan wajah sumringah, aku lupa sesaat pada tanya-jawab yang kuajukan pada ayah tadi.
Ayah hanya terkekeh melihatku, lalu menyeruput lagi minumannya. Dengan lebih menghayati, celetukannya terlontar, “Hmmm, ada yang terlena, tuh.” Aku menoleh ke ayah yang sudah senyum-senyum tampak mengejekku.
“Eh iya, Yah, hehe,” tawaku malu-malu. Aku lanjut bertanya, “Tadi kenapa, Yah? Kok malah ngasih aku uang sih? Jadi seneng deh, nanti mau sering-sering kasih pertanyaan aah biar dapet uang terus.”
“Sekarang, ayah mau uangnya dikembalikan ke ayah lagi,” ujarnya tiba-tiba.
“Gak bisa gitu dong, Yah. Kan udah Ayah kasih ke aku, kok malah diminta balik sih?!” protesku sambil memasang ekspresi kesal.
“Lho, kan sebelumnya uang Ayah… Suka-suka Ayah dong kalau mau diambil lagi.”
“Tapi kan…,” aku menyodorkan kembali uang itu pada ayah. Ih malah kena prank!
Ayah terkekeh melihat tampang cemberut yang menghiasi wajahku. “Gimana perasaanmu?”
Aku membuat jeda sesaat untuk memikirkan jawabanku. “Aku ngerasa…,” ucapku pelan-pelan. “Waktu Ayah ngasih uang, aku seneng banget! Sampai di pikiranku udah ada list tuh mau jajan apa aja pake uang itu. Padahal Ayah cuma nyodorin, belum bilang itu buatku.”
Tawa renyah ayah terdengar.
“Tapi pas Ayah minta lagi uangnya, aku jadi kesel! Kan udah jadi milik aku, kenapa Ayah ambil lagi sih?!” lanjutku. Aku menghembuskan nafas keras. “Mana Ayah bilang aku terlena. Ya emang sih… emangnya ada gitu yang gak tergiur uang?”
Ayah tertawa lagi, “Ada dong. Uang kan bukan segalanya, Nak.”
“Segalanya butuh uang, Ayah,” timpalku.
“Secukupnya, cukup.” Ayah menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. “Apa lagi yang kamu rasakan, Nak?”
“Yang pasti sediiiih, dong, Yah. Gak jadi jajan deh,” jawabku lagi-lagi dengan cemberut. “Oh! Itu kah yang Ayah maksud dengan ‘rasa memiliki’? Aku pikir aku memang memiliki uangnya sepenuhnya, padahal Ayah cuma nitip sekejap buat diambil lagi. Tapi aku jadi ngerasa kehilangan karena udah keburu ngehayal buat make uangnya. Jadi pas uangnya dikembaliin, aku bener-bener sesedih itu. Coba aja aku sadar dari awal itu tuh cuma titipan dan gak langsung kesenengan sama apa yang bukan milikku.”
“Pinter anak Ayah,” ucapnya bangga. “Begitulah dunia, Nak. Meskipun sesaat melenakan, ini semua hanya titipan. Bukan hanya selembar uang, atau segunung emas, atau bentuk harta lainnya. ‘Rasa memiliki’ bisa berupa apa saja. Bahkan manusia sekalipun. Setitik saja rasa itu menyelinap di hatimu, maka resiko kehilangan itu akan kamu rasakan juga.”
“Jadi, itu alasan Ayah takut sama ‘rasa memiliki’?” Ayah mengangguk. “Terus gimana dong Ayah menghadapi ketakutan itu?”
“Berhenti mengaku-ngaku. Ayah benar-benar menghindari ‘rasa memiliki’ itu hadir, kalau ia mampir, segera Ayah ingat-ingat lagi bahwa semua yang Ayah pegang saat ini, adalah titipan Tuhan, maka kapanpun Tuhan mau, Ayah harus siap kembalikan kepada-Nya, bukan?” Ayah mengangkat kedua alisnya. Aku mengangguk-angguk mencoba membayangkan satu persatu hal yang selama ini aku rasa punyaku tiba-tiba hilang diambili Tuhan. Oh, sungguh menyedihkan.
“Yah, berarti kita gak boleh sedih dong?”
“Boleh, Nak. Secukupnya. Ingat, secukupnya.” Ini adalah tegukan terakhir teh hangat ayah. “Sekalipun Ayah menghindari perasaan itu–rasa memiliki, tapi Ayah kan tetap manusia juga. Semua perasaan dalam hidup ini, memang diciptakan Tuhan untuk dirasakan, Nak. Sekeras apapun mencoba menghindarinya, tetap harus diterima dulu. Begitulah alurnya… awalnya senang, memiliki hal yang berharga, lambat laun muncul ‘cinta’ terhadapnya, terlanjur sayang. Ketika hal itu harus dikembalikan, kita cenderung sulit menerima takdirnya.”
“Pantesan aku protes ya, Yah, hehe.”
“Tuh tahu. Jadi, sedih itu wajar, terima aja perasaannya. Tapi jangan berlarut-larut… Percayalah, Nak, kembalinya semua hal kepada pemiliknya, adalah yang terbaik.”
“Berlaku untuk manusia juga?”
“Ya, termasuk kita.”
Kembali ke masa kini, ketika tetesan air mataku tiba-tiba luruh di pipi. Mengingat percakapanku dengan ayah kala itu, aku baru menyadari bahwa Tuhan sedang memperingatkan aku untuk bersiap diri atas kehilangan yang harus aku hadapi setelahnya. Ayah, mungkinkah sedihku ini karena aku terlanjur menganggapmu milikku?
Karena tiba-tiba Tuhan menginginkan ayahku kembali itulah, pikiran tentang kematianku sendiri semakin menjadi. Kepergiannya tidak pernah terasa mudah buat kami sekeluarga. Aku sering melihat ibu duduk termenung lama menatap foto ayah, tatapan rindunya kosong. Nenek sesekali memanggil nama ayah, anak kesayangan satu-satunya, untuk membantu atau menemaninya, lupa kalau raga anaknya telah sirna. Adik laki-lakiku sering mengurung diri di dalam kamarnya, tidak seaktif dulu–ketika olahraga apapun dijalaninya bersama ayah. Semua punya cara masing-masing untuk menormalisasi kesedihan yang terjadi, proses mengikhlaskan yang ternyata masih panjang jalannya. Adanya ‘surat-surat wasiat jika aku mati nanti’ itu pun mulai tercipta sejak ayah tiada dengan tiba-tiba tanpa aba-aba. Setidaknya, jika mereka yang kutinggalkan membacanya, aku akan tenang karena sudah berpamitan. Tak seperti ayah.
Kematian sangat dekat.
Ia bahkan ada di balik selimut ayah di pagi buta.
Maka, kematianku sangatlah dekat.
Ia tengah mengincar nadiku dari arah-arah tak terduga.
Apakah ini saatnya aku pun bersiap diri untuk dipulangkan kepada Tuhan? Meninggalkan rasa kehilangan lagi di tengah rumah berhawa dingin ini. Meninggalkan ruang kosong yang entah akan berani atau tidak untuk kembali ditempati.
Apakah benar aku akan segera… pulang?
Dan Tuhan, bolehkah aku meminta kematian itu tiba dengan menyenangkan?
“Nak, bantu ibu di dapur, ya,” suara ibu lagi-lagi membuyarkan pikiranku. Hari sudah begitu sore, aku bergegas membantu ibu mempersiapkan makanan untuk buka puasa. Ibu menyuruhku memotong-motong buah segar selagi ia memasak nasi.
“Bu, kok buahnya banyak banget? Ibu mau bikin sop buah untuk se-RT?” celetukku.
“Kemarin ibu abis pinjem barang dari tetangga, sekalian dibalikin hari ini, mau ibu bawain sop buah juga. Hadiah terima kasih. Nanti temani ibu ya, Nak.”
Sekelebat cahaya masuk ke dalam pikiranku. Mengapa aku terus berfokus pada bagaimana aku mati nantinya, bagaimana orang-orang setelah aku mati, sampai lupa apa yang harus aku bawa ketika nyawa ini aku kembalikan pada Sang Pencipta? Bukankah ada kehidupan lain setelah kematian?
Kematianku sangatlah dekat.
Namun kini, aku punya harapan kuat untuk melanjutkan hidupku sebaik mungkin. Agar perjalanan pulangku tidak biasa-biasa saja. Hadiah apa yang akan kupersembahkan untuk-Nya ya?
Tuhan, jika sudah tiba hari kematianku…
***
Salman Reading Corner,
27 Ramadhan 1445 H
– Ra Sa
Komentar
Posting Komentar
Mari tinggalkan jejakmu bila berkenan :)