Kembali ke Rumah

Suatu hari, aku pernah menyimak percakapan antarhati dari seorang penulis favoritku dengan moderator yang ternyata merupakan bagian dari platform yang diinisiai oleh si penulis, yang kebetulan disiarkan di Instagram. Ada perumpaan dalam isi pembicaraan itu yang membuatku tertegun. Yang juga bagian dari buku si penulis. Begitu sederhana, namun sangat mengena di dalam hati. Izinkan aku menceritakannya kembali dengan bahasaku sendiri.

Selayaknya anak kecil yang seharian bermain di luar rumah, terpeleset lalu terluka, baju basah karena air hujan, celana sobek terkait sesuatu, bahkan sebadan kotor oleh tanah dan keringat yang bercampur menjadi sangat bau. Begitulah cerminan diri kita, saat menjadi hamba.

Bagaimana bisa seorang hamba diumpamakan sebagai anak kecil yang dekil dan tengil? Bisa.

Coba tanya diri ini, apakah selalu suci? Apakah selalu berjalan lurus dalam koridor yang benar? Apakah selalu memperoleh pahala alih-alih dosa? Apakah sudah pasti akan memasuki surga? Jawabannya: belum tentu.

Realitanya, kita yang seorang hamba ini masih sering abai pada perintah dan larangan-Nya. Lalai dalam menjalankan kewajiban kita sebagai seorang manusia yang mengaku ‘hamba’. Kita masih sering terjerumus pada kesalahan, keserakahan, kesombongan, kemunafikan, dan keburukan lainnya. Kita masih berlangganan dosa. Dengan entengnya, manusia ini mencicipi segala bentuk kemaksiatan yang ada di dunia. Bukankah semua itu mengotori jiwa kita?

Sejauh apapun melangkah, kita harus ingat untuk kembali pulang ke rumah.

Maka si hamba yang dekil karena dosa-dosa yang menutupi dirinya, si anak kecil yang kotor ini, harus pulang. Kembali ke rumah. Kembali ke ibunya dengan merengek-rengek, “Ma, aku pulang!”

Sang ibu bisa jadi marah besar, baju yang baru dibelinya untuk si anak harus ia ikhlaskan karena rusak ulah buah hatinya. Sang ibu bisa jadi menghukumnya karena kotor-kotoran dan ceroboh sampai jatuh dan terluka.

Tapi namanya ibu, sehabis puas memarahi dan memberi anaknya pelajaran, ia pasti menyuruh anaknya untuk bersih-bersih. Bahkan tangannya sendiri yang akan membersihkan tubuh sang buah hati, mengobati luka-lukanya, memandikannya, menggantikan pakaiannya, bahkan memakaikan minyak telon dan bedak hingga menyisiri rambutnya. Si anak yang semula kotor, kini berubah jadi bersih dan rapi, sangat wangi. Ia berlari ke meja makan, melahap apapun yang disediakan ibunya, masakan terlezat yang pernah dicicipinya di muka bumi. Ketika malam tiba, si ibu meniduri anaknya di kasur yang nyaman, di kamar yang telah rapi dipersiapkan sebelumnya. Anak pun seolah lupa atas kesalahannya seharian, ia tertidur pulas di pelukan ibunya, siap memimpikan hal-hal yang indah dalam lelapnya.

Semua dilakukan dengan penuh kasih sayang.

Tapi, apakah esok harinya si anak tidak akan bermain kotor-kotoran lagi? Apakah seminggu kemudian dia tetap sebersih dan serapi itu? Apakah bulan depannya dia menolak bermain dengan teman-temannya?

Tidak, keesokan harinya, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya, kelakuan si anak masih terus berulang. Namun ia tahu, satu-satunya tempat kembali dan membersihkan diri adalah rumah. Satu-satunya yang bisa membantunya membersihkan diri adalah ibunya. Setakut apapun dia pada ibu yang akan memarahinya, dia pasti akan tetap pulang.

Bayangkan, bayangkan kita yang seorang hamba ini di posisi itu. Kita sudah kotor, sudah rusak, sudah hina, luntang-lantung tidak punya tempat kembali. Tapi kita masih dan akan selalu punya Allah, satu-satunya Dzat yang akan menyambut kita dengan penuh cinta, saat kita masih mampu memilih untuk kembali. Allah menyuruh kita pulang sehabis bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi, Allah yang mempersilakan kita meminta ampun pada-Nya, Allah juga yang akan membereskan masalah-masalah yang kita tak sanggup menghadapinya.

Kalau seorang ibu saja begitu bisa menerima kepulangan kita, memaafkan kita yang terus mengulang kesalahan yang sama, lalu membersihkan kembali tubuh kita dari kotoran. Lalu mengapa kita ragukan kuasa Tuhan yang telah menciptakan ibu kita? Padahal hanya Allah yang Maha Mampu dan Memampukan. Dia yang kasih sayang-Nya jauh melampaui rasa sayang ibu pada anaknya.

Sama seperti ibu, mungkin Allah akan memberikan dulu sedikit 'teguran' pada kita untuk membersihkan kita dari dosa-dosa yang baru saja dilakukan. Mungkin Allah uji dulu kesungguhan kita dalam bertaubat. Seberapa kuatkah tekad kita untuk pulang dan mengadu kepada-Nya? Allah yang akan atur semua itu.

Maka, pulanglah, duhai jiwa yang tenggelam dalam kegelapan. Boleh jadi Allah merindukan tangis kita karena dosa-dosa yang sudah menumpuk. Boleh jadi Allah merindukan pesan syukur kita atas karunia yang tak pernah putus dialirkan-Nya dalam hidup ini. Boleh jadi Allah merindukan kita yang melangitkan doa dalam tiap sujud menghadap tanah.

Boleh jadi Allah kasih kita ‘kode’ untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Merengeklah pada Allah, Tuhan Semesta Alam, "Ya Allah, aku kembali lagi pada-Mu, tuntun aku kembali di jalan lurus-Mu. Ampuni kelalaian-kelalaianku. Bersihkan dan sucikanlah aku. Sungguh aku telah dzolim pada diriku sendiri dan orang lain. Tiada Dzat yang mampu mensucikanku kembali kecuali Engkau, Rabb-ku. Kumohon, jangan pernah Engkau tinggalkan aku, aku sangat membutuhkan keridhoan-Mu."

Sesungguhnya, telah sombong diri ini, kalau merasa tak butuh lagi berdoa, dan menganggap Tuhan tidak akan mendengarkan kita. Karena pada siapa lagi kita memohon ampun dan pertolongan, jika kepada Allah saja kita enggan untuk meminta?

Bandung, 13 Dzulhijjah 1442 H,

Anak kecil yang ingin pulang pada pelukan-Nya

Komentar

Postingan Populer