Untuk Kakak yang Pernah Ada
Dua tahun kira-kira aku habiskan buat lupain kenangan kita, buat nerima keadaan, buat relain kakak. Mengira bahwa aku telah baik-baik saja selama ini, dikelilingi orang-orang yang support aku terus, ketemu lagi orang-orang yang mengisi ruang kosong dengan segala rasa yang mereka punya. Atau setidaknya, apa yang bisa aku percaya.
Nyatanya sampai detik ini, bayangan Kakak masih menghantui aku. Seringkali hadir dalam mimpi, dalam ingatan yang sudah susah payah aku hilangkan. Rumah Kakak yang dekat sekali, terpaksa aku lewati lagi dengan jantung berdebar berharap bisa melihat wujud Kakak di sana, ketika aku disuruh mengantarkan sesuatu ke daerah itu. Semua perjalanan yang kutempuh di kota ini, pasti selalu mengingatkanku pada kehadiranmu, karena dulu nyaris setiap hari kita lewati waktu bersama. Kalau memori ini terus menghujam kepalaku, tak jarang aku menangis setiap kali senyumanmu muncul di dalam benak. Aku bingung, Kak. Kenapa bisa-bisanya perasaanku masih terikat seperti ini?
Jujur, aku sangat merasa bersalah pada seseorang yang hatinya baru saja kupatahkan. Namun trauma yang kumiliki, ternyata tak benar-benar sembuh, Kak. Dia pun waktu itu masih bermasalah dengan masa lalunya. Sejak awal aku sudah salah arah, harusnya kami berdua sama-sama sadar, jangan memulai hubungan apapun jika satu sama lain masih terbawa arus masa lalu. Namun ego masing-masing terus menyelimuti. Yang ada malah saling menyakiti, tapi semua udah terlambat, Kak.
Aku berusaha mengakhiri hubungan kami bahkan dari bulan-bulan pertama, hanya saja waktu setahun aku dengannya itu aku benar-benar tak berpikir masih memandangmu sebagai seseorang yang berarti, Kak. Aku tetap punya perasaan untuknya, sebuah harapan naif bahwa suatu hari nanti ia adalah yang paling tepat untuk akhir ceritaku. Satu tahun dengan lika-likunya. Bukan karenamu kok Kak aku memilih sendiri, aku hanya ingin mengembalikan apa yang seharusnya pada tempatnya. Dulu pun padamu, aku pernah juga kan bilang kalau kita lebih baik sendiri-sendiri?
Namun kini, jarak di antara kami dan banyak hal yang terjadi membuatku tiba-tiba menyadari satu hal. Aku gak bisa lari dari luka, Kak. Aku selemah itu. Ditampar ribuan kali oleh realita yang tak sama, aku stress. Aku muak, Kak. Bisa ga sih kalau Kakak emang mau pergi dari aku, pergi yang benar-benar total? Jangan ganggu-ganggu aku di mimpi. Jangan nunjukin apa-apa depan aku.
Tapi aku bodoh ya. Padahal emang Kakak ga pernah usaha apa-apa buat deketin aku lagi. Aku justru yang malah berpikir, Kak, masih adakah kesempatan untuk kita bisa bertukar cerita lagi? Meski tempatku di sisimu tak pernah lagi ada.
Kak, aku telah jahat pada seseorang. Ia melihat ke arahku sampai detik ini, hatiku hancur saat aku tahu aku bersalah padanya, membuatnya sakit setiap saat. Ia memperhatikanku selalu, bahkan di saat yang ada di pikiranku adalah Kakak.
Aku ga nyangka akan seperti ini jadinya, perasaan yang kuduga sudah usai, tak bisa semudah itu menjadi hal yang kuabaikan. Aku harap orang itu segera sadar, Kak. Aku bukanlah yang pantas untuk dia. Nanti, ia akan temukan orang lain yang lebih baik dan memahami dirinya, menjadikannya berproses ke arah yang lebih baik. Semoga dia akan terus bahagia.
Semua kata-kata Kakak untukku dulu benar, dari mulai Kakak bilang kalau bucin itu bikin kita jadi orang bodoh. Hidup masing-masing bukan cuma soal hubungan kita doang. Semuanya jadi kenyataan. Bahkan sampai hal ini,
Aku bisa gila. Selalu menangis membaca pesan-pesan tersisa darimu. Mempertanyakan penjelasan yang tak pernah terucap dari bibirmu bahkan di detik-detik terakhir kita berakhir. Aku bisa gila. Mencari perhatianmu yang entah sekarang siapa pemiliknya. Di ulang tahun kemarin saja, masih berkhayal Kakak akan ucapkan sesuatu. Bodoh. Kalau saja waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa aku belum mengenalmu, Kak. Karena pengalaman bersamamu adalah hal yang paling berpotensi untuk membunuhku sekarang.
Kak, kalau Kakak baca ini, aku harap Kakak mengerti apa yang harus dilakukan sekarang juga. Meski aku tahu mustahil bagi Kakak terlibat lagi denganku, bahkan sekadar baca ini sekali pun. Aku tahu, ga pernah lagi ada sedikitpun peduli Kakak untukku, bagai debu yang tersapu bersih, Kakak gampang sekali melupakan aku.
Selamat ya, Kak. Lagi-lagi aku sendirian yang menanggung luka. Luka ditinggalkan dan kini bertambah pula luka meninggalkan.
Sudahlah, tak ada lagi cerita yang perlu aku rangkai. Kita semua sudah usai. Aku dan Kakak, aku dan dia. Ayo kita masing-masing berjalan sendiri dengan cerita baru, merelakan satu sama lain, tanpa dendam yang menggebu.
Kalian... baik-baik terus ya!
Hey, 1 tahun itu ga sebentar loh. Rasanya kayak dimanfaatin :')
BalasHapus