Jika Kau Rasa Hal yang Sama
Pernahkah kamu merasakan jatuh ke lubang yang sama...
Bahkan berkali-kali?
Pagi ini, aku dipertemukan kembali oleh teman lamaku—yang telah menghilang dari peredaran sejak dua tahun lamanya—, tentu saja via sosmed. Dia bercerita bahwa alasannya memisahkan diri dari kami —teman-teman yang pernah menemani hari-harinya yang penuh drama asmara semasa SMA ini, adalah karena terlalu mencintai kekasihnya kala itu. Dia bilang, cinta yang seperti itu telah membunuh karakternya, ia seperti kehilangan diri sendiri, tanpa karya apa-apa. Dua tahun, bukan waktu yang sebentar. Selama itulah, dirinya tak pernah lagi menulis dan menggambar, dua hal yang harusnya menjadi potensi besar.
Bayangkan, dia terseok-seok mencari sosoknya sendiri.
Mencari-cari jati diri yang sempat tak berarti.
Percakapan kami sampai malam ini masih berlanjut, meski dibalas sesempatnya, berujung aku yang malah menceritakan kisahku. Kisah setahun terakhir mengenal seseorang yang sedikit mengubah diriku juga.
Ini jawabannya, saat kutanya apa ia masih bersama kekasihnya itu sekarang... Nyatanya, apa yang dialaminya kurang lebih mirip denganku. Atau mirip dengan cerita jutaan orang lainnya di dunia?
Aku juga. Ingin sekali menanggalkan perasaan salah yang terlanjur tumbuh dalam hatiku, lepas dari belenggu ikatan tak kasat mata, namun sesulit itu dia mengikhlaskanku. Bedanya teman lamaku ini denganku adalah, kami sama-sama bergelut dengan luka, dia sebagai seseorang yang terluka dalam hubungannya tersebut, sedang aku sebagai orang yang melukai.
Berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi, aku bertanya-tanya lagi. Mengapa terasa sangat familiar dengan ritme seperti ini?
Hingga aku sadar, ini bukan kali pertamanya aku terjebak.
Tepat dua tahun sebelumnya, aku mengemis-ngemis kepastian pada seseorang, dari yang awalnya menunggu dirinya dengan penuh setia hingga akhirnya menuntut banyak hal yang tak bisa ia berikan. Kilas balik ini adalah tamparan buatku, bahwa dulu aku merasakan sakit hati yang hebat, patah sepatah-patahnya atas perlakuan dia, atas perasaannya yang memudar perlahan. Aku yang kala itu masih segar-segarnya merasa bahagia tiba-tiba dihadapkan kenyataan bahwa rasa suka tak bertahan selamanya jika dibungkus dalam hubungan yang salah—maka hancurlah sudah diriku.
Seharusnya aku sadar, tak boleh lagi sembarangan membuka hati. Tak boleh lagi macam-macam dengan perasaan.
Saat semuanya mulai pulih, aku bangkit pelan-pelan, memungut perasaan yang pernah berserakan, menjahitnya kembali menjadi separuh utuh. Seseorang itu berhasil lolos menerobos pertahananku. Orang yang sejak awal sudah kuberi peringatan untuk tidak terlalu mendekat, namun malah bertekad menjadikanku masa depan.
Terjadi lagi, lagi.
Aku yang ada di masa lalu dalam potret dirinya. Kini kesempatan yang pernah kupinta dahulu, muncul lagi dari bibir dia yang sekarang tak henti-hentinya memanggilku.
Aku harus bagaimana, Tuhan?
Kata-kata di atas adalah respon temanku yang lain saat aku posting screenshot yang pertama tadi.
"bahkan gak ada yang mengisi hati jauh lebih meringankan beban"
Benar. Selama ini aku sibuk memikirkan orang lain dalam hidupku, bukan berarti sia-sia. Hanya saja, kapan waktunya aku untuk menghidupkan diriku kembali? Meminta maaf pada tubuh dan pikiranku yang jarang menjadi diri sendiri. Selalu bertingkah pura-pura, menyemangati orang lain, tampak ceria, tampak baik-baik saja. Semua palsu. Semua hanya topeng yang bebas kugunakan di depan mata yang tertuju padaku. Hanya sedikit cerita yang berhasil kubagikan dalam karya, padahal ada keinginan-keinginan besar yang tak pernah diumbar. Ada mimpi yang malah kukubur sedikit demi sedikit.
Aku ingin berterimakasih pada diriku yang telah berjuang, meski tak dihargai oleh siapapun. Aku yang telah bertahan sejauh ini meski tak pernah ada yang melihatku sebagai 'seseorang'. Aku ingin mencari kembali 'aku'. Mengembalikan 'aku' yang sebenar-benarnya aku.
Aku lelah.
Kalau Tuhan izinkan kami bersama, mungkin lain cerita. Tapi aku percayakan takdir pada tempatnya. Suatu saat, ya suatu saat. Siapapun itu orang-orang yang aku ceritakan dalam tulisan kali ini akan menemukan belahan jiwanya yang tepat, di waktu yang tepat.
"Seseorang pergi, tapi kenangannya abadi." - Unknown.
Apa yang menjadi takdirku, adalah takdirku.
Apa yang menjadi takdirmu, adalah takdirmu.
Percayalah, tidak ada hal yang akan tertukar dari takdir-takdir kita. Tak akan ada yang pernah luput dari jangkauan kuasa-Nya sekalipun hanya sebuah roti.
Jika aku takdirmu, maka Tuhan akan segerakan.
Jika semua itu tak pernah dituliskan, maka ikhlaskan.
Tolong, ikhlaskan aku.
Komentar
Posting Komentar
Mari tinggalkan jejakmu bila berkenan :)