Aku Tertuduh
Adzan subuh membangunkanku dari tidurku yang lelap. Aku bergegas
menuju mushola kecil setelah air suci membasuh tubuhku. Kulaksankanlah tugasku
sebagai seorang muslim dengan khusyu’. Setelah itu, aku langsung mengambil
handuk dan lekas mandi. Agar aku tak terlambat datang ke sekolah. Ya, aku sudah
terbiasa hidup mandiri. Ayah dan Bunda mengajarkan agar aku selalu disiplin,
bertanggungjawab, dan selalu ingat waktu.
“Meysa, kamu pergi ke sekolah, naik sepeda saja, ya, Nak!” Ujar
Ayah saat kami sedang sarapan di meja makan.
“Kenapa Ayah?” tanyaku heran.
“Soalnya, pagi ini ada rapat yang harus dipimpin oleh Ayah. Ayah
harus cepat-cepat sampai di kantor, jadi tak sempat lagi mengantarmu ke
sekolah. Tak apa-apa kan?”
“Baiklah, Ayah” ujarku.
Akhirnya, aku pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda
biru mudaku. Memang sih, jarak rumahku ke sekolah tak begitu jauh. Namun aku
telah biasa diantar Ayah dengan motor, sehingga rasanya berat sekali untuk bersepeda.
Padahal bersepeda itu dapat menyehatkan tubuh dan juga menghemat Bahan Bakar
Minyak bumi, yang sekarang persediaannya semakin menipis.
Ada yang berbeda dari hari biasanya. Tiba-tiba saja aku merasa tak
diperdulikan oleh teman-teman yang lainnya. Aku seperti kembali ke masa lalu, kembali
merasa terasingi.
“Jena, nomor tiga itu maksudnya pa, ya?” tanyaku pada teman
sebangkuku.
“Cari tahu aja sendiri!” tak seperti biasanya, Jena sangat ramah
padaku. Tapi sekarang tidak.
Aku teringat kembali masa-masa kecilku dulu, di saat aku tak
memiliki teman satu pun hingga Zia hadir. Ah!
Waktu Istirahat, aku tak kuasa menahan linang air mataku. Aku tak
ingin semua ini terjadi lagi. Aku duduk sendirian di pojok kelas, menangisi
nasibku sambil tersedu-sedu. Mungkin, tak ada satu pun teman yang
memperhatikanku lagi.
Kala ku tumpahkan air mata sambil menutup wajahku dengan tangan,
tiba-tiba seseorang memegang pundakku. Oh, Tuhan, akankah ini pertanda baik?
Kubuka mataku perlahan-lahan, hingga semua terlihat nyata.
“Selamat Ulang Tahun Meysa!!!” Sorak sorai teman-teman sekelas
mengagetkanku.
“A-ah.. Terima kasih teman-teman” Ucapku lirih tak percaya. Air
mataku kembali berjatuhan, namun bukan karena aku sedih seperti tadi, namun karena
aku terharu dengan kejutan yang mereka berikan untukku. Aku tak menyangka
mereka ingat dengan hari ulang tahunku. Aku sendiri saja tak sadar ini adalah
hari ulang tahunku yang ke-10.
“Selamat ulang tahun, Mey, Maaf membuatmu sedih…” satu per satu
teman-teman menyalamiku sambil meminta maaf padaku.
“Meysa! Maaf sebelumnya, kami hanya bisa memberikan ini untukmu.
Diterima ya…” Ucap Zia mewakili teman-teman sekelas. Mereka memberiku sebuah
kado dengan ukuran yang cukup besar. Mereka juga membuatkan kue ulang tahun
untukku. Bukan hadiah yang kunilai. Tapi nilai kekeluargaan yang terjalin di
antar kami inilah, yang membuatku menangis haru sekaligus bangga. Aku mengajak
mereka makan kue buatan mereka bersama-sama.
Aku berterima kasih kepada
mereka semua. Aku juga berterima kasih secara khusus kepada Zia, karena berkat
dialah aku jadi mempunyai teman yang begitu banyak dan semuanya sayang padaku.
“Sekali lagi, Makasih teman-teman…” ucapku tulus.
Tiba-tiba saja, Aldo, anak kelas sebelah berteriak-teriak memanggil
namaku di depan pintu.
“Hey Meysa! Sini kau pencuri! Jangan mentang-mentang kamu perempuan
seenaknya saja bersembunyi di dalam kelas! Keluar kamu!” aku bergegas
menghampirinya.
“Maaf, Do. Tadi kamu memanggilku apa?” sahutku yang tak enak dengan
perangai kasar Aldo di hari ulang tahunku ini.
“Pencuri! Ya, kamu memang pencuri tak tahu diri!” bentaknya kasar.
“Maaf sebelumnya, tapi siapa yang kamu maksud pencuri? Aku?!
Memangnya aku mencuri apa? Apa buktinya sehingga kamu menuduhku?” tanyaku
kesal.
“Kamu telah mencuri uangku, Meysa! Nih buktinya, uang lima puluh
ribu yang aku taruh di lokerku untuk membayar seragam olahraga, tiba-tiba
hilang. Lalu aku memeriksa setiap loker siswa kelas 4 bersama seksi keamanan
kelasku, dan ternyata, uangku ada di lokermu, Meysa! Lihat ini!” Sentaknya
sambil mengeluarkan uang Rp50.000 dari dalam lokerku, yang ada di luar kelas.
Seluruh mata tertuju padaku. Aku merasa terhina dan nama baikku ikut tercoreng.
Mataku mulai berkaca-kaca . Tuhan, aku harus bagaimana?
“Itu memang bukan uangku! Tapi kalian jangan menuduhku, aku bukan
pencuri!” akhirnya aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Pilu sekali untuk
menerima kenyataan bahwa diriku yang tak pernah melakukannya, malah dicap
sebagai pencuri.
“Heh! Jangan dengarkan dia. Mana ada maling mau mengaku,
teman-teman! Dialah pencuri uangku!” Teriak Aldo lagi.
“Tidak!!! Kau tak boleh langsung menuduhnya sebagai pencuri, Aldo!
Masalah ini belum terpecahkan. Kita tidak boleh main hakim sendiri. Uang itu
ada di loker Meysa, belum tentu Meysa sendiri yang memasukkannya. Bisa jadi ada
orang lain yang sengaja menyelipkannya” Lagi-lagi Zia membelaku.
“ AKH…” Aldo yang terkenal kasar hampir saja melayangkan tangannya
ke wajahku, jika saja bel tanda masuk kelas tidak berbunyi.
Selama mengikuti pelajaran terakhir hatiku tidak tenang. Aku
melihat sekelilingku menatapku tak percaya. Aku tak tahu bagaimana caranya
memberitahukan kepada mereka, bahwa aku bukanlah seorang pencuri.
Uh! Ulang tahunku yang semula bahagia kini jadi hancur.
*
Esoknya, aku terserang demam tinggi. Bunda melarangku untuk pergi
ke sekolah. Namun aku nekat dan memaksa bunda agar aku diizinkan pergi. Aku
sebenarnya tidak bercerita soal kasus yang kemarin terjadi kepada orang tuaku.
Aku hanya berkata, bahwa ini hanya demam biasa. Walaupun akhirnya ayah harus
membawaku ke dokter dulu, baru kemudian beliau mengantarku ke sekolah meskipun
agak terlambat.
Aku sudah mempunyai cara agar Aldo dan teman-teman percaya, bahwa
bukan aku lah pelaku yang sebenarnya. Jika aku tak pergi ke sekolah, maka
mereka tidak akan mempercayai aku lagi. Mereka pasti menuduhku sebagai pelaku
yang sembunyi dari masalah, seperti pribahasa lempar batu sembunyi tangan.
Makanya, walau aku merasa tak enak badan, aku tetap memaksakan diri
untuk mengumpulkan teman-teman pada waktu istirahat di depan kelas.
“Teman-teman, aku punya cara yang kuat, yang akan membuktikan bahwa
aku tidak mencuri uang Aldo!” kataku lantang.
“Huh, mana buktinya, Pencuri?!” sindir Aldo.
“Berhentilah memanggilnya Pencuri, Aldo!” Zia angkat bicara.
Mungkin dia juga kesal dengan sikap Aldo yang seenaknya.
“Baiklah, teman-teman, dengarkan aku. Kemarin adalah hari ulang
tahunku yang ke-10. Dan aku pergi ke sekolah dengan mengendarai sepedaku. Saat
di sekolah, aku merasa bahwa teman-teman
menjauhiku dan tak memperdulikanku. Ternyata kalian sengaja karena akan
membuat kejutan untukku, dan jika kalian sengaja melakukan itu, pasti diantara
kalian ada yang memperhatikan gerak-gerikku, agar aku tak curiga dengan yang
lainnya. Lagipula, kemarin itu, aku menangis di pojok kelas. Mana mungkin aku
melakukan hal yang jelas-jelas dilarang oleh hukum dan agama. Nah, apakah ada
yang mempercayaiku?” Ungkapku panjang lebar.
“Ya, Aku!” Seru Keke. “Akulah yang bertugas mengawasi Meysa agar
tidak mencurigai teman-teman yang lainnya. Apa yang di ungkapkan oleh Meysa
tersebut benar. Aku tak melihat sama sekali Meysa mencuri uang sepeserpun dari
loker Aldo” Akhirnya, Keke angkat bicara.
“Lalu siapa yang mengambil uangku, dan menyimpannya di lokermu?”
Tanya Aldo agak melunak.
“kalau itu aku tahu!” Ujar Keke. “Denilah pelaku sebenarnya!”
“Benarkah itu, Deni? Apa alasanmu melakukan itu pada….ku…?” tanpa
kusadari semuanya tiba-tiba berubah menjadi hitam.
*
Dunia begitu gelap gulita. Entah aku berada di mana. Hingga
datanglah suatu cahaya yang amat terang benderang. Sungguh menyilaukan mata.
Kudengar sayup-sayup suara orang-orang yang memanggil namaku.
“Meysa……Mey…..Meysa…”
“A..Aduuh… Aku di mana ini?” tanyaku terbata-bata setelah tersadar
dari dimensi yang berbeda. Aku merasa sangat lemah sekali.
“Kamu di UKS. Maaf sebelumnya, aku telah menuduhmu mencuri uangku…
Ternyata pelaku sebenarnya telah mengakui kesalahannya. Kamu mau memaafkanku
bukan?” seru Aldo sambil mengulurkan tangannya ke hadapanku. Aku membalasnya
dan mengangguk lesu sambil tersenyum tulus.
“Jadi… Deni… aku belum mendengar apa alasanmu membuat perkara
ini…?” tanyaku lirih.
“Baik, Mey.. Maafkan aku. Aku mengaku salah, atas perbuatanku itu,
dan aku minta maaf kepadamu, Meysa. Karena sudah mencelakakanmu. Aku melakukan
itu sebenarnya hanya untuk keisengan saja. Aku tak bermaksud akan
mencelakakanmu. Sungguh! Kupikir, Aldo tak akan menganggapnya dengan serius,
dan kamu pun tak akan sampai pingsan begini. Kalau jadinya begini, aku sungguh
merasa bersalah, Mey. Maafkan aku ya!” Deni mengaku salah.
“Hah? Iseng katamu?” kulihat Zia tampak kesal dengan jawaban Deni.
Deni hanya menunduk pasrah.
“Sudah-sudah! Tak apa, Zia.
Aku sudah memaafkannya. Asalkan tidak akan di ulangi lagi ya!” Ucapku tulus.
“Huh, kenapa baru sekarang ngomong jujurnya!” Ujar Keke lucu
menirukan logat suatu iklan di TV.
“Hahahaha….”
Ya, indahnya saling memafkan. Indahnya berteman tanpa perselisihan.
NB : Ini cerpen lama, maklum jelek, ya!
Cerpen lama yang apik :)
BalasHapusKayaknya pernah baca, apa pernah diposting di KBM ya? heheh lupa-lupa ingat.
ya ampun, maaf bunda Rinz, aku baru baca komentarnys sekarang -_-
Hapusbelum pernah sih, bun. tapi cerpen ini pernah diikutksan event LMC 2013. Cuma gak dapet. Hehe.